top of page
4_edited.jpg

Get Involved

Contact Us

5.png

Menilik Pengetahuan Lokal vs. Kearifan Lokal dalam Kebijakan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Writer's picture: Beby PaneBeby Pane

Terma 'kearifan lokal' atau 'local wisdom' dalam kebijakan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia pertama kali muncul melalui UU No. 31/2004 tentang Perikanan. Kearifan lokal, yang dianggap sebagai perwujudan pengetahuan tradisional dan warisan budaya, berperan penting dalam pengelolaan berkelanjutan ekosistem pesisir dan laut. Namun, proses integrasi kearifan lokal ke dalam kebijakan formal masih belum diimplementasikan secara optimal, dan hal ini berakar pada miskonsepsi mendasar mengenai perbedaan antara kearifan lokal dan pengetahuan lokal.


Berangkat dari titik ini, saya kemudian mengajukan pertanyaan: Bagaimana kita dapat menjembatani kesenjangan antara "kearifan lokal" dan "pengetahuan lokal" yang lebih luas dan berkembang dalam kerangka hukum Indonesia? Mekanisme apa yang dapat memastikan bahwa wawasan masyarakat benar-benar berkontribusi dalam membentuk kebijakan? Dari dasar pertanyaan tersebut, saya kemudian menyusun dan mempresentasikan paper pada 5th SEASIA Biennial International Conference di University of the Philippines, Diliman, Quezon City pada 18-20 Juli, 2024 lalu.


Paper yang saya susun berjudul “Deconstructing 'Local Wisdom' in State-led Coastal Community Policy Frameworks Study Case: Indonesia.” Isi paper ini pada intinya membahas bagaimana dalam konteks Indonesia, penggunaan terminologi "kearifan lokal," yang merujuk pada praktik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, sering kali secara tidak sengaja membatasi pemahaman tentang "pengetahuan lokal". Pengetahuan lokal di satu sisi, merupakan bentuk wawasan yang dinamis dan terus berkembang, yang dihasilkan oleh komunitas melalui interaksi mereka dengan lingkungan. Perbedaan konseptual ini mencerminkan adanya dinamika kekuasaan, di mana wawasan penting dari komunitas berisiko termarginalisasi dalam proses pengambilan keputusan kebijakan (Lihat Nugroho et al., 2018). Kesalahpahaman ini seringkali membatasi pemahaman tentang kompleksitas dan dinamisme pengetahuan komunitas, sehingga potensi kontribusi mereka terhadap kebijakan belum sepenuhnya dimanfaatkan.


Kontribusi Praktik Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Terhadap Konservasi


Pesisir Lestari mendokumentasikan praktik-praktik pengelolaan pesisir berbasis masyarakat dalam buku berjudul “Laut Kita, Kita Kelola Bersama” yang menunjukkan bagaimana komunitas lokal dengan pengetahuan praktis yang mereka miliki tentang lingkungan mereka dapat berkontribusi secara signifikan terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Mengakui dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas kebijakan, tetapi juga memperkuat keberlanjutan jangka panjang. Pengetahuan tersebut mencakup lebih dari sekadar "kearifan lokal" yang statis, melainkan merupakan seperangkat wawasan yang dinamis dan terus berkembang—menegaskan pentingnya memperluas cakupan terminologi agar tidak membatasi potensi kontribusi pengetahuan komunitas dalam kebijakan pengelolaan sumber daya.


Belajar Dari Pengalaman Negara-Negara Lain


Dalam konferensi tersebut, saya juga mendapati praktik-praktik pengetahuan lokal di negara Asia Tenggara lainnya. Di Filipina, terdapat bantay-dagat yang melakukan pengawasan dalam pengelolaan mangrove berbasis masyarakat dengan pendekatan mitos seperti pahadlok–roh jahat yang mendiami mangrove. Dari dasar ini, desa-desa kemudian mampu memprakarsai reboisasi mangrove di wilayah sekitar. Di Filipina, tantangan serupa muncul karena integrasi pengetahuan lokal ke dalam kerangka hukum nasional masih menghadapi berbagai kesulitan.


Kesulitan-kesulitan ini muncul karena pengetahuan lokal sulit untuk diformalkan dalam kerangka hukum yang baku. Salah satu temuan menarik dari penelitian Kisho Tsuchiya di Pulau Timor adalah eksplorasi metodologi literatur lisan sebagai landasan kuat dalam penelitian dan produksi pengetahuan. Dalam penelitian tersebut, Tsuchiya menelusuri cerita rakyat “Kambing dan Monyet,” yang melalui analisis historis dan pelacakan jalur perdagangan, ditemukan berakar pada abad ke-14 berdasarkan temuan arkeologis. Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi lisan yang kental di Indonesia memiliki potensi untuk diformalkan dan dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan dengan metode akademis yang tepat. 


Hal ini semakin relevan dalam konteks isu perubahan iklim, di mana masyarakat pesisir menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak. Pengetahuan lokal yang sangat kontekstual dengan keanekaragaman geografis Indonesia dapat menjadi alternatif solusi bagi kebijakan lingkungan yang lebih efektif. Integrasi pengetahuan ini tidak hanya memperkuat kebijakan berbasis sains, tetapi juga memberikan ruang bagi kearifan lokal untuk berperan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Di tingkat internasional, pendekatan ini dikenal sebagai Traditional Ecological Knowledge (TEK), yang dalam berbagai kasus, seperti yang dibahas dalam artikel "Impacts of Climate and Global Change on Local Social-Ecological Systems: Learning from Indigenous and Local Knowledge" oleh David García-Del-Amo dan André B. Junqueira, telah terbukti memberikan solusi inovatif.


Ke depan, penting bagi Indonesia untuk mendorong pengakuan formal terhadap TEK dalam perencanaan kebijakan nasional. Dengan semakin eratnya kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat adat, pengetahuan lokal ini dapat menjadi fondasi kuat bagi kebijakan yang berkelanjutan dan lebih inklusif. Langkah ini tidak hanya memperkuat kedaulatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan posisi Indonesia dalam tata kelola lingkungan global yang semakin kompleks.


Namun, lebih dari sekadar pengakuan, perlu ada upaya untuk memperluas cakupan kearifan lokal menjadi pengetahuan lokal yang dapat bersaing dengan proses produksi pengetahuan formal. Pendekatan ini memungkinkan pengetahuan lokal untuk tidak hanya diakui, tetapi juga diperlakukan setara dengan pengetahuan ilmiah dalam pembuatan kebijakan. Dengan demikian, pengetahuan lokal akan menjadi sumber daya yang dinamis dan berdaya guna dalam menjawab tantangan perubahan iklim, tata kelola lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan.






Commentaires


Jalan Badak Sari I No 3.

Sumerta Kelod, Denpasar Timur.

Bali 80234, Indonesia

Phone: +62 361 445 6827

Email: contact@pesisirlestari.org

Jalan Badak Sari I No 3.

Sumerta Kelod, Denpasar Timur.

Bali 80234, Indonesia

Phone: +62 361 445 6827

Email: contact@pesisirlestari.org

©2024 by Pesisir Lestari.

bottom of page